Hakekat makna Bhinneka
Tunggal Ika yang memberikan suatu
pengertian bahwa meskipun bangsa dan Negara Indonesia terdiri atas
bermacam-macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta
karakter yang berbeda, memiliki agama yang berbeda dan terdiri atas beribu-ribu
kepulauan wilayah nusantara Indonesia, namun keseluruhannya adalah merupakan
satu persatuan yaitu persatuan Bangsa dan Negara Indonesia. Perbedaan itu
adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, namun perbedaan itu untuk dipersatukan, disintesakan dalam suatu wadah
yang positif dalam suatu Negara kebersamaan, Negara persatuan Indonesia
(Notonagoro, 1975:106).
Bhineka Tunggal Ika merupakan
semboyan Bangsa Indonesia, yang mengandung arti “walaupun berbeda-beda tetapi
tetap satu”. Maksudnya; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bangsa Indonesia
yang memiliki perbedaan ras, suku, agama, bahasa, dan adat istiadat, di
harapkan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika dapat menjadikan masyarakat Indonesia
makmur dan sejahtera tanpa adanya permusuhan. Indonesia kurang lebih memiliki
34 provinsi dimana setiap provinsi memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda,
suku-suku di indonesia berjumlah lebih dari 300 suku, dan memiliki enam macam agama
yang meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Begitu
sangat hebat Negara Indonesia, Negara kita tercinta ini mempunyai semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”, semboyan yang dikarang oleh Mpu
Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Bahkan tidak satu negara pun memiliki semboyan yang sama halnya dengan Negara
Indonesia.
Namun, apakah dengan adanya semboyan
Bhineka Tunggal Ika menjadikn masyarakat makmur dan sejahtera tanpa adanya
permusuhan? Ataukah hanya sekedar semboyan yang tidak ada pengaruhnya sama
sekali? Coba kita me-review kasus dari tahun ke tahun yang selalu dibicarakan
di media massa.
Kasus pertama, perang antar suku– pertikaian Dayak–Madura (di ambil dari
artikel karya Anne Ahira). Terjadi dua kerusuhan berskala besar antara suku Dayak
dan Madura, yaitu peristiwa sempit (2001), dan senggau ledo (1996). Penyebab
terjadinya pertikaian suku dayak-madura itu ada empat, pertama, Perbedaan
budaya antara Dayak dan Madura, dengan adanya pertikaian tantang kebudayaan
ini berkaitan dengan kebiasaan. Misalnya bagi suku Dayak senjata tajam yang di
selipkan dan dibawa kemana-mana adalah termasuk hal yang dilarang, karena di khawatirkan
mencederi orang lain. Namun budaya suku Madura menyelipkan senjata tajam dan di
bawa kemana-mana sebuah hal yang biasa. Kedua, Perilaku yang
tidak menyenangkan, Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah
besar adalah tabu. Karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu
ibarat jiwa dan badan. Bila di langgar, pemilik barang akan sakit bahkan
meninggal dunia. Sementara orang Madura seringkali terlibat pencurian dengan
korbannya dari suku Dayak. Ketiga, pinjam meminjam tanah.
Adat istiadat Dayak boleh meminjamkan tanah tanpa pamrih. Hanya dengan
kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah orang Dayak. Namun
persoalan timbul saat tanah diminta kembali. Seringkali orang Madura menolak
mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang menggarap
selama ini. Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya
(ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan. Keempat, ikrar
perdamaian yang di langgar. Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar
perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan di anggap sebagai pelecehan
adat sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa
kali melanggar ikrar perdamaian.
Kasus kedua, perang
suku di Lampung sebuah dendam lama. Sebenarnya
konflik-konflik antar suku sudah sering terjadi di provinsi Lampung, baik itu
antara suku asli Lampung dengan Bali seperti yang telah terjadi, maupun Jawa dengan
Bali atau Lampung dengan Jawa. Pertikaian ini berkaitan dengan kebudayaan
masing-masing suku, karena itu sebuah adat atau kebiasaan masing-masing suku.
Lampung adalah provinsi yang suku nya ada sedikit di bandingkan dengan suku
yang lain. Di daerah Lampung tersebut banyak pendatang dari suku Jawa, Bali, Sumatra
Utara dan lain-lain. Awalnya kedatangan mereka disamput dengan ramah oleh suku Lampung,
namun karena pendatang kurang bisa menghargai suku Lampung maka terjadinya
perang antar suku.
Kasus ketiga. Konflik antar beragama. Hendropuspito mengemukakan bahwa
paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber
dari agama Islam–Kristen di Indonesia. Pertama, perbedaan
doktrin dan sikap mental. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupkan
agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari Wahyu Ilahi karena
itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa
tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat islam dari aliran Sunni atau Santri.
Kelompok Sunni masih berfikir tentang pembentukan negara dan masyarakat islam
di indonesia. Kelompok itu begitu agresif, kurang toleran dan terkadang sangat
fanatik dan malah menganut garis keras. Karena itu, faktor perbedaan doktrin
dan sikap mental serta kelompok masyarakat islam dan kristen punya andil
sebagai pemicu konflik. Kedua, perbedaan ras dan suku pemilik
agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar
kelompok dalam masyarakat. Ketiga, perbedaan tingkat
kebudayaan. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat
agama Islam-Kristen, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu.
Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional.
Sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena
itu bentuk rumah gereja lebih ke wajah budaya barat yang mewah. Perbedaan
budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama disuatu tempat atau daerah
ternyata sebagai faktor pendorong yang mempengaruhi terciptnya konflik antar
kelompok agama di Indonesia. Keempat, masalah mayoritas dan
minoritas agama. Di berbagai tempat
terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok
mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan
mental adalah agama Kristen yang minoritas di Indonesia.
Ketiga konflik tersebut pada
hakekatnya tentang perbedaan antar ras, suku, adat istiadat dan agama. Apabila
kita kaitkan dengan konsepsi hakekat Bhineka Tunggal Ika ini sangat bertolak
belakang. Dimana mereka yang seharusnya saling mengahargai perbedaan, namun
menjadi penyebab terjadinya kekacauan, permusuhun yang mengakibatkan adanya
peperangan. Sehingga mereka tinggal di Negara Indonesia, negara mereka sendiri
malah tidak nyaman karena adanya kegaduhan. Kemudian kemana hakekat Bhineka
Tunggal Ika yang sebenarnya? Sebuah semboyan yang selalu di banggakan Bangsa
Indonesia. Semboyan yang memiliki arti “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu
kesatuan”.
Solusi untuk mengatasi permasalah di
atas, yang pertama, Seharusnya mereka menyadari bahwa kemajemukan
etnik/suku, ras, sosial, budaya, dan agama, merupakan kepelbagaian yang berbeda
satu sama lain, namun demi kepentingan bersama, menuju masyarakat yang makmur
dan sejahtera Bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa, kepelbagaian menjadi
penguat sehingga terintegrasi secara nasional sejak Indonesia merdeka di bawah
ideologi Pancasila. Kedua, dalam mengatasi suatu perbedaan jangan
menggunakan egoisentri, namun menggunakan akal fikiran dan perasaan serta
sebelum melangkah lebih lanjut di fikirkan lebih dahulu akibat-akibatnya. Adanya
toleransi antar suku, ras, budaya, agama diharapkan bisa menjadikan Negara
Indonesia menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera tanpa adanya pertikaian.
Sehingga mereka lebih nyaman tinggal di negaranya sendiri. Semboyan “BHINEKA
TUNGGAL IKA” harus di tegakkan kembali.