Selasa, 07 Januari 2014

MENGGALI KEMBALI MAKNA “BHINEKA TUNGGAL IKA”




Hakekat makna Bhinneka Tunggal Ika  yang memberikan suatu pengertian bahwa meskipun bangsa dan Negara Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta karakter yang berbeda, memiliki agama yang berbeda dan terdiri atas beribu-ribu kepulauan wilayah nusantara Indonesia, namun keseluruhannya adalah merupakan satu persatuan yaitu persatuan Bangsa dan Negara Indonesia. Perbedaan itu adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, namun perbedaan itu untuk dipersatukan, disintesakan dalam suatu wadah yang positif dalam suatu Negara kebersamaan, Negara persatuan Indonesia (Notonagoro, 1975:106).
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan Bangsa Indonesia, yang mengandung arti “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu”. Maksudnya; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bangsa Indonesia yang memiliki perbedaan ras, suku, agama, bahasa, dan adat istiadat, di harapkan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika dapat menjadikan masyarakat Indonesia makmur dan sejahtera tanpa adanya permusuhan. Indonesia kurang lebih memiliki 34 provinsi dimana setiap provinsi memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda, suku-suku di indonesia berjumlah lebih dari 300 suku, dan memiliki enam macam agama yang meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Begitu sangat hebat Negara Indonesia, Negara kita tercinta ini mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, semboyan yang dikarang oleh Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Bahkan tidak satu negara pun memiliki semboyan yang sama halnya dengan Negara Indonesia.
Namun, apakah dengan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadikn masyarakat makmur dan sejahtera tanpa adanya permusuhan? Ataukah hanya sekedar semboyan yang tidak ada pengaruhnya sama sekali? Coba kita me-review kasus dari tahun ke tahun yang selalu dibicarakan di media massa.
Kasus pertama, perang antar suku– pertikaian Dayak–Madura (di ambil dari artikel karya Anne Ahira). Terjadi dua kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dan Madura, yaitu peristiwa sempit (2001), dan senggau ledo (1996). Penyebab terjadinya pertikaian suku dayak-madura itu ada empat, pertama, Perbedaan budaya antara Dayak dan Madura, dengan adanya pertikaian tantang kebudayaan ini berkaitan dengan kebiasaan. Misalnya bagi suku Dayak senjata tajam yang di selipkan dan dibawa kemana-mana adalah termasuk hal yang dilarang, karena di khawatirkan mencederi orang lain. Namun budaya suku Madura menyelipkan senjata tajam dan di bawa kemana-mana sebuah hal yang biasa. Kedua, Perilaku yang tidak menyenangkan, Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu. Karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu ibarat jiwa dan badan. Bila di langgar, pemilik barang akan sakit bahkan meninggal dunia. Sementara orang Madura seringkali terlibat pencurian dengan korbannya dari suku Dayak. Ketiga, pinjam meminjam tanah. Adat istiadat Dayak boleh meminjamkan tanah tanpa pamrih. Hanya dengan kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah orang Dayak. Namun persoalan timbul saat tanah diminta kembali. Seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang menggarap selama ini. Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan. Keempat, ikrar perdamaian yang di langgar. Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan di anggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian.
Kasus kedua, perang suku di Lampung sebuah dendam lama. Sebenarnya konflik-konflik antar suku sudah sering terjadi di provinsi Lampung, baik itu antara suku asli Lampung dengan Bali seperti yang telah terjadi, maupun Jawa dengan Bali atau Lampung dengan Jawa. Pertikaian ini berkaitan dengan kebudayaan masing-masing suku, karena itu sebuah adat atau kebiasaan masing-masing suku. Lampung adalah provinsi yang suku nya ada sedikit di bandingkan dengan suku yang lain. Di daerah Lampung tersebut banyak pendatang dari suku Jawa, Bali, Sumatra Utara dan lain-lain. Awalnya kedatangan mereka disamput dengan ramah oleh suku Lampung, namun karena pendatang kurang bisa menghargai suku Lampung maka terjadinya perang antar suku.
Kasus ketiga. Konflik antar beragama. Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama Islam–Kristen di Indonesia. Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupkan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari Wahyu Ilahi karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat islam dari aliran Sunni atau Santri. Kelompok Sunni masih berfikir tentang pembentukan negara dan masyarakat islam di indonesia. Kelompok itu begitu agresif, kurang toleran dan terkadang sangat fanatik dan malah menganut garis keras. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental serta kelompok masyarakat islam dan kristen punya andil sebagai pemicu konflik. Kedua, perbedaan ras dan suku pemilik agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam-Kristen, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional. Sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih ke wajah budaya barat yang mewah. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama disuatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang mempengaruhi terciptnya konflik antar kelompok agama di Indonesia. Keempat, masalah mayoritas dan minoritas agama.  Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah agama Kristen yang minoritas di Indonesia.
Ketiga konflik tersebut pada hakekatnya tentang perbedaan antar ras, suku, adat istiadat dan agama. Apabila kita kaitkan dengan konsepsi hakekat Bhineka Tunggal Ika ini sangat bertolak belakang. Dimana mereka yang seharusnya saling mengahargai perbedaan, namun menjadi penyebab terjadinya kekacauan, permusuhun yang mengakibatkan adanya peperangan. Sehingga mereka tinggal di Negara Indonesia, negara mereka sendiri malah tidak nyaman karena adanya kegaduhan. Kemudian kemana hakekat Bhineka Tunggal Ika yang sebenarnya? Sebuah semboyan yang selalu di banggakan Bangsa Indonesia. Semboyan yang memiliki arti “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan”.
Solusi untuk mengatasi permasalah di atas, yang pertama, Seharusnya mereka menyadari bahwa kemajemukan etnik/suku, ras, sosial, budaya, dan agama, merupakan kepelbagaian yang berbeda satu sama lain, namun demi kepentingan bersama, menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera Bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa, kepelbagaian menjadi penguat sehingga terintegrasi secara nasional sejak Indonesia merdeka di bawah ideologi Pancasila. Kedua, dalam mengatasi suatu perbedaan jangan menggunakan egoisentri, namun menggunakan akal fikiran dan perasaan serta sebelum melangkah lebih lanjut di fikirkan lebih dahulu akibat-akibatnya. Adanya toleransi antar suku, ras, budaya, agama diharapkan bisa menjadikan Negara Indonesia menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera tanpa adanya pertikaian. Sehingga mereka lebih nyaman tinggal di negaranya sendiri. Semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA” harus di tegakkan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar